Saya ingin mejabarkan idea Socrates dalam sebuah cerpen. Mudah-mudahan ini berguna untuk orang yang kurang menyukai bacaan filsafat karena telah terimage adalah bacaan yang berat.
Filsafat, Mata kuliah ini memang selalu membingungkan aku, 3 kali bertemu dengan mata kuliah ini kepalaku pusing tujuh keliling (tahu gak kenapa orang selalu bilang pusing tujuh keliling? gak 3 keliling atau 9 keliling….Jawabannya karena obat tuk pusing namanya puyer bintang tujuh - berguna untuk mengobati pusing, masuk angin, dll – kalau obatnya puyer bintang 10 mungkin kita sekarang bilangnya pusing 10 keliling : sekilas info red ).
Kita lanjutkan ya.., dalam kepalaku penuh dengan pertanyaan – pertanyaan yang bagaikan magma sebuah gunung yang siap meletus. Andaikan tidak ada penanganann yang tepat akan pertanyaan-pertanyaan di kepalaku ini semua penghuni kepalaku akan tewas secara konyol.
Dari buku komik “Wiro Sableng” ada pesan moral yang tersirat “KETIKA KAMU BINGUNG DAN MERASA KURANG ILMU MAKA NAIK GUNUNGLAH UNTUK BELAJAR KEMBALI DENGAN SINTO GENDENG” (he..he…he… ketahuan yang suka wiro sableng nehhhh).
Terinspirasi dari buku itu, aku memutuskan naik gunung ke kaliurang untuk merenungkan semua yang ada, (padahal maksudnya mau sekalian jalan2 neh..), mencari tempat yang asyik untuk bertapa (padahal penginapan..) dan merenung beberapa hari dengan mbah marijah ( karena mbah Marijan lagi suting di Jakarta kemarin, jadi tidak ada di Kaliurang. Akhirnya aku mencari mbah Marijah tuk menemaniku di kaliurang).
Setelah 3 hari dalam pertapaan, ternyata tidak membuat pertanyaan ini menghilang. Sejuknya hawa kaliurang ternyata tidak dapat menyejukkan kepalaku (mungkin hawa merapilah yang merasuk, hingga kepalaku menjadi tambah pusing..sing…sing…).
Mbah Marijah yang kuharapkan bisa membantu, ternyata membuat aku lebih pusing karena aku harus membayar penginapan dan makanannya (Aku putuskan tuk menyuruh mbah Marijah pulang… hikss….hiksss…)
Huff… mungkin udah saatnya aku tidak mempercayai komik “Wiro Sableng”, buktinya semua jurus yang ada di sana telah aku taati. Benar kata pak Marsigit (Dosen Filsafatku – Red ) “jangan termakan mitos-mitos yang ada” (Weih..ternyata ada efek juga aku belajar filsafat yang membuat pikiranku semakin kritis).
Akhirnya dengan pertanyaan-pertanyaan ini terus bergemuruh di kepala, aku putuskan besok pagi untuk ke rumah pak Marsigit. Aku akan bertanya semua tentang filsafat, filsuf-filsuf dan semua pertanyaan – pertanyaan yang buatku pusing tujuh keliling. Kalau perlu aku akan pindahkan pertapaan ini ke rumah pak Marsigit (he,,he,, he,,padahal ini trik anak kost untuk menghemat uang. Dengan alasan kunjung keluarga padahal untuk pengiritan uang kiriman atau juga uang kiriman telah habis. Makanya anak kost selalu ngunjungi keluarga dan teman-temannya diakhir bulan – trik ini didapat setelah 6 tahun menjadi anak kost!!! - red)
Pagi ini aku hentikan pertapaan yang tidak membawa hasil ini dan berjalan menyusuri gunung untuk menuju rumah Pak Marsigit. Aku harus cepat, karena aku tidak begitu mengerti bagaimana jalan kerumah Pak Marsigit, nanti akan kutanyakan di ruang administrasi Pascasarjana UNY. Yang penting aku harus turun dulu dari gunung ini. aku langkahkan kaki, menyusuri jalan setapak. Hingga aku sadari aku pada dimensi yang tidak aku kenal dan tahu arahnya. Huff.. aku tersesat!!! (Tanda-tanda jika anda tersesat : 1. Pertama anda tidak tahu ada dimana?,2 : dalam pikiran anda ada pertanyaan “ Heiii… ini dimana?” semua orang udah tahu kaliii…)
“Ah…Hari yang tidak beruntung…Belum hilang pusing tujuh keliling ini. Pusingku bertambah oleh jalan ini, dimanakah aku berada?” gerutuku di dalam hati.
Aku putuskan untuk berhenti sejenak untuk melepas kepenatan dan menyegarkan pikiranku. Dalam hati aku berharap mudah-mudahan ada yang orang yang lewat untuk menanyakan jalan yang benar.
“Hei… itu ada orang yang lewat. Tapi siapakah Dia? Dari penampilannya dia bukan orang sini, karena biasanya orang-orang disini memakai baju khas jawa. Dia memakai baju seperti jubah. Wajahnya juga dipenuhi jambang dan jenggot yang lebat. Mengingatkan aku pada teman-teman ayahku. Dari raut wajahnya Dia sangat pintar. Atau jangan-jangan…Dia manusia bukan manusia, Dia lelembut (lelembut : makhluk halus – red) yang ada di gunung ini, konon katanya ini rumah para lelembut.” Ujarku dalam hati.
Ah.. tapi biarlah yang penting aku bisa keluar dari tempat ini. Bukankah lelembut lebih takut kepadaku (konon kata abangku yang kedua aku lebih menyeramkan daripada lelembut. Kalau lelembut sesajinya hanya bunga dan kalau marah di bacakan ayat kursi juga hilang. Tapi kalau aku sesajinya bunga bank yang buat dia bangkrut dan kalau marah kursi yang menghilang karena melayang. Makanya sebenarnya aku itu lebih menyeramkan dibandingkan lelembut. Hehehehe…).
Bab ini udah mulai serius yah teman-teman…
Aku berlari menghampiri orang tua tersebut. “ Maaf bapak, bisakah saya bertanya?”
“Kamu mau menanyakan apa anak mudi” jawabnya
“Tahukah bapak jalan keluar dari gunung ini? Karena sesungguhnya saya tersesat dan tidak tahu jalan untuk keluar.”
“ Kamu dapat mengikuti saya. Karena saya juga akan menuju arah yang sama”
“Terimakasih bapak, aku harus cepat-cepat keluar dari gunung ini. Aku harus ketempat pak Marsigit dosen filsafat saya untuk menanyakan jawaban dari semua pertanyaan yang ada dikepala ini. Sungguh ini membuat kepala saya penuh dan pusing. Ayo bapak.. kita harus segera ” kataku dengan penuh semangat.
“Jangan tergesa-gesa anak mudi. Semangat mudamu yang menggelora terkadang dapat membakar rencanamu yang bagus menjadi debu yang akan menghilang dengan sia-sia. Sebelumnya saya akan istirahat dahulu ditempat ini. Karena tempatmu istirahat ini sungguh indah. Kita bisa melihat alam yang mempesona. Ayo kamu juga dapat mempelajari alam ini”
Walaupun sedikit kesal karena hal ini akan menambahkan waktuku untuk sampai kerumah pak Marsigit, tapi aku memutuskan untuk menunggu orang tua tersebut.
Sebenarnya aku ingin menanyakan siapa dia, dari mana asalnya. Tapi aku enggan karena melihatnya begitu asyik memperhatikan alam. Dari sorot mata dan raut wajahnya, Dia tengah memikirkan sesuatu dari alam. Aku tidak tahu apa yang dipikirkannya. Tapi sekali-kali dia mengganguk-anggukkan kepala dengan tersenyum seperti murid-muridku jika memahami pelajaran matematika yang kuberikan.
“Maaf jika aku membuatmu menunggu begitu lama” kata otang tua tersebut. Yang membuat aku terkejut. Aku telah begitu ngantuk dan bosan menunggu.
“Tidak apa-apa pak” jawabku berbasa-basi. Padahal didalam hatiku rasa kesal telah membatu.
“ Tapi kalau kamu tidak keberatan, saya ingin 1 jam lagi disini. Tapi jangan takut, kamu boleh berbicara denganku”
Huff… ini berarti menunda perjalananku lagi. Tapi tidak apalah mungkin ada hikmah dibalik ini pikirku.
“Silahkan pak. Senang bisa berbicara dengan anda” jawabku sekenanya
“Siapa namamu anak mudi?” Tanya orang tua tersebut sambil tak henti menatap alam ini.
“Gadis Arniyati Athar, Bapak dapat memanggil saya dengan Gadis. Seperti semua orang memanggil saya”
“Nama yang bagus, tapi jarang didengar” katanya memuji
“Jika bapak berada didaerah tempat saya tinggal nama itu sangat familiar, karena itu nama khas anak perempuan melayu. Berkunjunglah kedaerah saya, dengan senang hati saya akan menjamu bapak” kataku. Ternyata berbicara dengan bapak tua ini mengasyikkan juga pikirku.
“Terimakasih saya haturkan dengan berbangga hati atas undangan. Hmmm…tapi tadi saya mendengar kamu berbicara tentang pak Marsigit? Ada apa dengan dia?”
“Bapak mengenal pak Marsigit? Dia dosen filsafat saya. Saya mau menemuinya agar dia menjawab pertanyaan – pertanyaan yang ada dikepala ini. Pertanyaan ini membuat saya menjadi pusing pak” kataku sedikit terkejut karena dia mengenal pak Marsigit dosen ku
“ Hmmm.. jiwa mudamu itu anak mudi, kamu harus dapat mengendalikannya. Kalau tidak api itu akan membakarmu.”Dia tersenyum simpul menepuk-nepuk pundakku.
Nasihatnya Mungkin dia benar, aku harus mengendalikan sifat keinginantahuan yang besar pada diriku. Karena ini selalu menjadi problem, aku seperti tergesa-gesa tapi terkadang ini juga menjadi hal yang baik untuk ku. Mungkin aku hanya perlu untuk mengendalikannya saja.
“Tentu aku mengenal pak Marsigit. Dia temanku berdiskusi dalam berfilsafat. Dia mengenalkan ide-ide filsafatku. Mungkin juga mengenalkannya padamu. Dia dosen kamu yah? Menurut saya dia pasti dosen yang baik” sambungnya lagi
Hatiku sangat senang mendengarnya. Karena aku berpikir, wah.. dia bisa pasti bisa menjawab pertanyaan yang ada dikepalaku.
“Dia dosen yang baik menurut saya, tapi terkadang materi mata kuliahnya membuat saya bingung. Filsafat sungguh memusingkan kepala saya. Tapi bapak kalau kamu teman diskusinya pak Marsigit, tentu bapak juga sangat pintar filsafat. Bisakah aku mennayakan bebrapa pertanyaan padamu?”
“ha..ha..ha..ha.. anak mudi –anak mudi. Filsafat tidak susah seperti yang kamu bayangkan. Karena filsafat adalah hasil pemikiranmu. Apakah kamu tidak berpikir selama ini?”
“Tentu saya berpikir, buktinya setiap saat kepala saya penuh pertanyaan. Pertanyaan ada bukankah hasil berpikir? Bapak bantulah saya untuk memecahakan masalah ini” jawab saya
“Apa yang bisa saya bantu. Orang-orang filsafat biasanya rajin membantu orang lain kok” katanya sambil tersenyum jenaka. Ternyata bapak tua ini bisa guyon juga pikirku.
“ Aku mau menanyakan pemikiran-pemikiran dari filsuf. Apa itu filsafat? Mengapa arti filsafat dapat berbeda-beda? Siapa bapak Filsafat sesungguhnya? Bagaimana Socrates dan plato dengan idenya? Mengapa Socrates bertentangan dengan teori relativismenya Heraclitus? Mengapa…”
“Cukup anak mudi, kamu harus kendalikan emosimu. Bukankah umat nabi Musa sesat karena terlalu banyak bertanya?” kata bapak tua memotong pertanyaanku yang ingin kukeluarkan dari isi kepala ini.
“Umat nabi Musa selalu bertanya dan tidak mau memikirkan jawabannya bapak. Seperti kita memperhatikan alam ada siang dan ada malam. Kita hanya bertanya mengapa seperti ini? Tanpa ada mau mencari jawaban bahwa karena ada rotasi bumi. Besok ketika kita melihat pohon besar, kita bertanya mengapa?jawabannya hanya yah mungkin itu kodrat alam. Umat nabi Musa hanya bertanya tanpa mau mencari jawabannya bapak” kataku
“Yup, sebenarnya kamu sudah berfilsafat. Buktinya kamu telah berpikir dari keadaan alam, lingkungan sekitarmu. Sesungguhnya itulah berfilsafat. Kalau kamu mengartikan bunga mawar adalah bunga keindahan dari hasil pengamatanmu dan saya mengatakan bunga mawar adalah bunga cinta kasih dari pengamatan saya apakah itu salah?” Tanya bapak tua itu lagi.
“Yah tentu tidak pak, saya tidak bisa menyalahkan pengertian bunga dari bapak dan bapak tentu tidak bisa juga menyalahkan pengertian bunga dari saya” jawabku
“Terus…pengertian filsafat dari filsuf yang berbeda-beda pengamatan juga harus disamakan?”
“Tentu tidak bapak” kataku.
“Yup kamu telah menjawab pertanyaanmu apa itu filsafat dan mengapa filsafat itu mempunyai pengertian yang berbeda – beda” kata bapak tua tersebut sambil mengacungkan tanda viktori dengan jarinya. (Peace…!!!!). Wah ternyata ini orang tua semakin membuatku penasaran.
“Yah sekarang, aku mengerti pak tua, lalu siapakah bapak filsafat sesungguhnya? Karena ada buku yang mengatakan Thales, ada yang mengatakan Socrates ada yang mengatakan Heraclitus, trus siapa dong pak?”
“Dalam filsafat seseorang menjadi raja pada pemikiranya, Thales yang memperkenalkan pertama kali berpikir dengan akal, lalu Socrates memperkenalkan akal dengan moralitas, Heraclitus dengan paham relativismenya, Descrates dengan rasionalismenya. Lalu siapakah yang dapat dikatakan bapak filsafat jika seperti itu?”
“Saya bingung pak tua, tapi aku setuju dengan jalan pikiranmu” jawabku
“Bapak Bagaimana dengan ajaran Socrates? Mengapa Socrates menentang kaum-kaum sofis yang mengusung paham relativisme?” aku bertanya kembali dengan pak tua
“Kaum sofis yang mengusung paham relativisme Heraclitus mengatakan bahwa keadaan selalu berubah. Itu yang ditentang oleh Socrates” ujar pak tua
“Itukan hasil dari pengamatan alam. Alam ini berubah-ubah pak tua. Bukankah Socrates memulai filsafatnya dengan bertolak dari pengamatan sehari-hari. Jadi kenapa Socrates menetang kaum sofis? Kata ku tidak sabaran.
“Kamu pernah tahu tidak dasar relativisme?” kata pak tua
“Sekilas pak, sebenarnya paham relativitisme didasarkan oleh Heraclitus. Dia menyatakan bahwa “You can not step into the same river, for the fresh water are ever flowing upon you” (Engkau tidak dapat terjun ke sungai yang sama dua kali karena air sungai itu selalu mengalir). Heraclitus hanya melihat alam ini adalah bentuk yang mengalir / atau berubah” jawab ku menjelaskan apa yang kutahui tentang relativisme
“Apakah kamu tidak pernah memikirkan implikasi dari kata “mengalir”? Tanya pak tua
“Yang saya tahu pak tua, alam tidak akan bisa sama seperti yang kemarin, sederhana aja dan masuk diakalkan?” kataku sekenanya
“Itu bukan pernyataan yang sederhana anak muda, kata semua mengalir sama dengan artinya alam berubah. Implikasi yang paling nyata dari itu bahwa kebenaran didunia ini juga selalu berubah. Tidak ada kebenaran objektif yang ada hanya kebenaran subjektif. Jika hari ini 2 + 2 = 4 besok dapat berubah menjadi 5, 6 atau yang lainnya. Apakah kamu mengerti?” katanya sambil menepuk bahuku?
“Saya bingung pak…Otakku yang tadi sedikit tenang sekarang bergejolak lagi. Tolong pak tua jelaskan kepada saya…” pintaku dengan sedikit memelas.
“Baik akan saya jelaskan , dengan kenyataan yang ada tapi saya harap kamu mau mengikuti saya” kata pak tua
“Saya akan ikut denganmu pak tua, lagipula hari telah beranjak senja tidak akan mungkin kita disini. Kita harus turun”
“Tutup matamu sekarang dan peganglah pundakku anak muda”kata pak tua
Aku tidak tahu apa yang akan dia lakukan, tapi karena rasa penasaranku, aku mengikuti saja apa yang dia perintahkan.
“Sekarang buka matamu” kata pak tua
“Hei dimana kita pak tua? bukankah ini bukan dilereng gunung lagi?” tanyaku keheranan.
Kami telah berada di daerah yang berbeda. Huff… apakah aku bermimpi. Aku mencubit tanganku dengan keras. Ternyata ini bukan mimpi, karena aku merasakan sakitnya cubitan itu. Trusss… yang aku alami ini kenyataan atau tidak. Aku bertanya-tanya didalam hati.
“Kamu tenang aja, saya punya kemampuan untuk menembus waktu. Jangan takut. Walaupun saya kamu anggap hantu, saya adalah hantu yang paling cakep dan baik” dengan jenaka dia menerangkan kepadaku.
“Kita ada dipasar demangan pak tua, aku tahu pasti pasar ini karena aku sering belanja disini. Tapi benarkah kita sudah sampai disini?”
“Kamu benar, coba sekarang sekarang kamu pengertian keadilan pada pedagang dan pembeli?” kata pak tua itu.
Mulai bab ini gak perlu serius-serius banget deh. Capek banget dengan keseriusan…
“Nyuwun Sewu mbah, Kulo Saged Tanglet?”
“from magister UNYkan? Use English language please?” kata si mbah. (Gubrak weis.. si mbah keren abis. Kalah kita dengan si mbah neh..)
“Ok mbah. Can I ask you? What defeniton of justice” kata ku kepada si mbah.
Si mbah menjawab dengan bahasa ingris yang fasih yang kira-kira artinya seperti ini ( ini saya artikan aja ya karena saya kasihan yang tidak pandai bahasa inggris.. hehehehe peace)
“Menurut buku yang saya baca dan pengamatan saya sehari-hari , keadilan adalah ketika saya diberikan uang yang cukup dari harga barang yang saya jual” kata si mbah dengan menganguk-anggukkan kepala.
“Matur nuwun mbah”
Aku mencari pembeli yang ada di pasar itu dan mencoba menanyakan kembali
“Ibuk, kulo saged tanglet? kataku
“ English language please? Jawab pembeli itu mencueki aku.
“ Ok , Can I ask you? What defeniton of justice” tanyaku lagi dengan takjub. Ternyata orang jogja keren, pasar tradisional aja harus menggunakan bahasa inggris. Weis mestibelajar lagi neh…
“Menurut hasil filsafat saya , jika penjual memberi saya barang yang sesuai dengan harganya itulah keadilan” jawab si ibu dengan bahasa inggris yang fasih.
Pesan moral :
1. ayo belajar bahasa inggris masak kalah dengan si mbah dan si ibuk yang tidak tamatan TK..
2. Ayo.. membaca.!!!! Ayo berpikir…. Masa anak S2 kalah dengan si mbah dan si ibuk.
Aku mencari-cari sosok pak tua. Ku edarkan seluruh pandangan mata ke sudut pasar. Hmmm… itu dia. Aku datang menghampiri pak tua tersebut.
“Pak tua sudah saya lakukan”
“Sebentar lagi asyik ini makan kue” Ternyata pak tua lagi menikmati kue risoles sambil mendelik kepedasan karena termakan cabe yang diselipkan di risoles.
“Ayo kita pergi lagi , tapi sebelumnya bayari dulu makanan dan minuman saya ini. 8 kue, 1 teh ice “ kata pak tua kepada ku. Dasar..tapi tidak papalah toh harga kuenya juga tidak seberapa, karena pasar ini terkenal dengan harga yang murah.
Aku memejamkan mata dan memegang pundaknya, melakukan seperti yang tadi aku lakukan. Tapi mengapa pundak pak tua serasa pergi menjauhiku.
“Hei anak mudi ayo cepat, naik keatas becak ini. Kamu mau mengikutiku tidak?” aku mendengar teriakan pak tua
Ealah…. Ternyata pak tua itu telah menaiki sebuah becak yang ada di depan pasar tradisisonal tersebut.
“Maaf pak tua, kita tidak pakai cara menghilang?”
“Kita mau ke Saphire., sah pake menghilang2 segala , nanti kita kelewatan lagi. Jadi lebih baik naik becak” kata pak tua tersebut sambil tersenyum
Dasar bapak tua yang aneh, terkadang pemikirannya selalu susah ditebak. Kamipun segera berangkat ke Saphire dengan becak.
Sesampainya di Saphire pak tua memerintahkan aku untuk menanyakan tentang keadilan pada penjual dan pembeli.
Karena memperkirakan ini adalah pasar yang modern, pasti orang-orangnya lebih fasih berbahasa inggris daripada pasar traditional demangan. Maka aku menggunakan bahasa inggris kepada seorang penjual.
“ nyuwun mbak, Can I ask you? What defeniton of justice?” Tanyaku
“Panjenengan ngomong opo sih, kulo gak ngertos? Gunakan bahasa Jawa atau Indonesia dunks?” Weis ternyata penjual ini tidak mengerti bahasa ingris toh.
“Saya mau bertanya pada mbak, apa sih pengertian keadilan menurut mbak?” Kataku
“Ooo.. kalaumenurut aku sih, keadilan jika barang yang kujual dapat untung sebanyak-banyaknya. Karena harga penyewaan toko di sini sangat mahal” kata penjual dengan cueknya.
“kalau begitu terimakasih ya mbak”
Akupun berlalu mencari pembeli yang ada disekitar sapphire. Aku lihat seorang perempuan yang modis. Dari rambutnya yang kemerah-merahan sepertinya dia keturunan barat.
“ Can I ask you? What defeniton of justice?”
“Maaf gunakan bahasa Indonesia, saya tidak pandai berbahasa Inggris, apalagi bahasa yang lain-lain cukup bahasa Indonesia bagiku” kata nya dengan aksen kebarat-baratan (Nahloh… kok bisa kayak gini. Mungkin ini yang dinamakan “Buklek Java” kali ya…)
“Saya bertanya sama mbak, apa sih pengertian keadilan menurut mbak?” kata ku menjelaskan.
“Pembeli Sebagai saya mengatakan keadilan jika saya memperoleh barang dengan harga yang murah dan kualitas yang bagus”
“ Terimakasih mbak” jawabku
Pesan moral : tidak semua yang orang yang berbau barat itu dari luar negeri yang bisa berbahasa inggris. Bisa aja dia “BUKle” java (orang yang bergaya kebarat-baratan tapi pemikiran NDeso)
Ah… pak tua itu menghilang lagi. Dimana dia yah?
“Hai anak mudi, sudah dapatkah kamu pengertian keadilannya?” kata seseorang bapak dengan blankon dan baju adat jawa.
Aku memperhatikan dengan seksama.
“hahahaha..kamu cukup pantas menggunakanbaju jawa ini pak tua. Walaupun terlihat aneh tapi aku akui kamu apik saget” kataku ketika menyadari itulah pak tua yang bersamaku.
“Sekilas tidak berbeda, tapi kalau dilihat pada pasar tradisional penjual dan pembelinya lebih nerimo dan saling percaya. Karena mereka menjual dan membeli dari harga yang ditawarkan tanpa mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya. Kalau dipasar mewah ini penjual dan pembeli lebih mementingakan materialitas dalam hal ini uang. Tampak kalau penjual dan pembeli ingin memperoleh untung sebanyak-banyaknya” kataku kepada pak tua
“Itulah yang digugat Socrates pada filsafat Heraclitus” kata pak tua tersebut. Aku heran tidak mengerti apa maksud yang dikataknnya.
“Kalau kamu belum mengerti juga, baik aku akan membawamu pergi kesuatu tempat lagi” lanjut pak tua, melihat wajahku yang kebingungan.
“Hei ayo anak mudi, kenapa kamu mau pergi?” kata pak tua ketika aku mau melangkahkan kaki menuju pintu keluar.
“Kita pakai menghilang lagi pak tua atau pake becak?” tanyaku.
“Ayo biar cepat, kita mau ke tempat yang jauh, kelamaan naik becak” kata pak tua.
Akupun memegang bahunya dan memejamkan mata.. sesaat kami telah sampai pada suatu tempat yang asing bagiku.
“Ini negeri China. Coba lihat di sudut sana dan dengarkan pembicaraan mereka” kata pak tua kepadaku.
Aku melihat dua orang yang mirip. Sepertinya aku sangat mengenal mereka. Hei itukan Anggodo, orang yang mendadak menjadi selebritis dalam bidang laga (bukan sinetron atau flim laga – red) di negeriku. Tapi selebritis dalam bidang melaga Kepolisian (yang katanya mengayomi masyarakat dan juga mengayumi masyarakat) dan KPK, (yang katanya badan anti korupsi tapi tidak anti suap). Hingga terjadi perseteruan yang hebat antara KPK dan Kepolisian. Tapi aku tidak tahu kebenarannya. Biarlah itu menjadi urusan orang-orang politik di negeriku. Aku yakin pasti suatu saat kebenaran akan terungkap juga.
Aku tidak mau ambil pusing memikirkan hal itu, sedangkan mata kuliah pak Marsigit aja gak rampung-rampung aku pikirkan. Konon lagi mikiri Anggodo. Wah.. makin mumet.
“Ini semua tidak adil, masa kamu aja Anggoro yang harus menjadi kambing hitam semua ini. Kenapa kasus ini bisa terungkap? Bukankah seharusnya udah diam semua, karena semua sudah kita beri fee yang cukup untuk membuat rumah mewah. Apa mereka masih merasa kurang?” kata Anggodo kepada seseorang yang aku ambil kesimpulan adalah Anggoro abangnya.
“Sekarang lagi kenapa aku mau diadili. Bukankah aku hanya sebagai perantara saja. Ini sungguh tidak adil, tidak adil…!!!” lanjut Anggodo lagi
Aku mengernyitkan kening, bingung dan menahan marah.
“Kenapa kamu bereaksi seperti itu? Kata pak tua menegurku
Emosiku meledak “Masih pantaskah seorang koruptur seperti mereka berbicara keadilan. Merekakan sudah memakan uang rakyat. Membuat rakyat menderita. Membungkam orang untuk diam. Mengajak orang untuk berbuat kesalahan. Seenak udelnya aja mereka meminta keadilan. Keadilan seperti apa yang mereka pinta.” Teiakku berapi-api.
“Hei siapa itu, ayo cari jangan-jangan mereka adalah intel dari Indonesia?” kata Anggodo menyuruh para pengawalnya.
Mungkin Dia mendengar kemarahanku tadi. Aduh gawat neh. Aku langsung menarik pak tua untuk segera berlari. Kami bersembunyi ditempat yang gelap. Para pengawal Anggodo mendekati kami. Keringat dinginku bermunculan dari dahi. Andaikan kami ketangkap pastilah kami tidak bakalan hidup lagi.
“Itu yang digugat Socrates pada filsafat Heraclitus” kata pak tua dengan tenangnya.
Aku tidak memperdulikan yang diucapkan pak tua. Pengawal-pengawal Anggodo semakin mendekati kami. Semakin dekat, wah kami kelihatan. Meraka menghampiri kami, kami terkepung. Tamatlah riwayatku….
Hingga detik-detik mereka ingin menangkap kami pak tua mengatakan “Ayo pejamkan matamu, kita akan menuju tempat yang lain”
Aku melakukan saja apa yang dia perintahkan, kamipun menghilang. Hufff.. selamat. Tuhan apa yang terjadi jika aku dan pak tua ini ketangkap. Diriku hilang tiada kabar berita.
Aku tidak tahu apa yang dipikirkan pengawal-pengawal Anggodo. Apakah mereka ketakutan menyangka kami hantu karena kami menghilang tepat dikepungan mereka. (biarkan sajal deh mereka bingung..).
Kami tiba pada suatu daerah yang asing lagi untukku. Aneh daerah ini sangat bising. Seperti suara barang yang dilempar. Aku melihat ada piring terbang melewatiku. Wusss….aku mengelak piring terbang
“Hei kita dimana ini pak tua? Kok banyak sekali piring terbang, apakah kita diluar angkasa? Ya Allah inikah luar angkasa?” kataku memperhatikan sekelilingnya. Tapi perasaan ku mengatakan kok tidak beda dengan bumi ya.
Belum ada jawaban apapun kudengar dari mulut pak tua tiba-tiba….Gubrak, sesuatu melayang tepat diwajahku. Wah aku pusing tujuh keliling lagi neh, tapi ini bukan piring terbang, ini baju terbang, celana terbang, bahkan ada CD terbang (diharapkan ngerti semua apa yang dimaksudkan dengan CD ya. Saya “isin” untuk menjelaskannya) yang disertai nyanyian merdu seorang perempuan separuh baya
“Pergiiiiiii… dan jangan kembali… kamu berlaku tidak adil pada aku dan anak-anakmu”
“Kamu belum keluar angkasa, kamu masih dibumi” kata pak tua dengan senyuman jenaka melihatku.
Aku baru mengerti kami berada pada satu rumah yang baru saja baru saja terjadi perang dunia ke 3. Aku melihat seorang pria yang duduk termenung dipojokan halaman rumah. Aku mencoba mendekati pria tersebut.
“Maaf mas apa yang terjadi?”kataku
“Hufff..aku baru dia berantam dengan istri pertamaku. Dia mengatakan bahwa aku tidak adil. Padahal aku telah bersikap begitu adil pada istri-istriku” katanya
“Emang mas punya istri berapa?” tanyaku
“Baru dua kok mbak, nanti-nanti aja deh kalau mau tambah lagi, dua aja sudah begini susah apalagi 3 atau 4” katanya (Weiss, baru tahu rasa dia, emang enak poligami)
“Mas mungkin terlalu asyik dengan istri muda, emang sih mas istri muda lebih menarik dan biasanya lebih disayang?” kataku mencoba memancing persoalan sebanrnya.
“Tidak mbak, aku merasa sudah sangat adil dengan mereka berdua. Aku telah memberi waktu, nafkah, rumah dan segala-galanya dengan tidak ada perbedaan.”lanjut pria tersebut.
“Trus istri pertama mas kok masih marah dan merasa kurang adil?” selidikku
“Iya mbak dia istri pertama saya itu mengatakan kalau istri kedua tidak punya anak, sedangkan dia punya 6 orang anak. Jadi istri saya itu meminta jatahnya ditambah dan jatah istri kedua saya dikurangi. Wajar tidak menurut mbak sih?” tanyanya minta pendapatku.
Aku berpikir sejenak “Kalau aku berpikir yang mas lakukan pada keduanya belum adil memang mas. Coba karena istri kedua mas tidak punya tanggungan, dia bisa buat uangnya untuk kesalon, jalan-jalan, shopping dan bermewah-mewahan. Sedangkan istri pertama, mungkin aja untuk makan 6 anak saja sudah habis, belum lagi untuk pendidikannya” jawabku
Pak tua memberiku kode untuk mendekat, aku mendekati pak tua itu.
”kita harus pulang, biarkan pria itu berpikir. Dia butuh waktu merenungkan semuanya. Itulah yang digugat Socrates pada filsafat Heraclitus” katanya setengah berbisik.
Aku mengikuti jalannya pak tua. Tiba-tiba dia memerintahkan aku untuk menutup mata dan memegang pundaknya. Aku mengerti kami akan menuju kesuatu tempat lagi. Tapi kemana aku tidak tahu.
Tidak berapa lama kami tiba di Rumah makan “Sederhana” yang ada dijalan kaliurang.
“Apa disini juga ada makna keadilan pak tua?” Tanya ku
“Yah ini keadilan buat perut, Ayo kita makan dahulu, hari hampir malam. Kita belum ada makan dari tadi” katanya sambl memegangi perut.
Wah dia tahu seleraku nih (jadi teman-teman kalau mau bawa aku makan, kerumah makan padang sja ya..). Sambil makan aku memikirkan kejadian hari ini.
Seakan mengerti apa yang aku pikirkan, bapak tua itu bertanya padaku “Apa yang dapat kau ambil kesimpulan dari perjalanan hari ini?”
“Saya bingung pak tua, begitu banyak pengertian keadilan. Dari sesama pasar aja bisa memberi arti yang berbeda. Maksud saya dari pasar traditional dan pasar modern karena produsen dan konsumennya berasal dari latar belakang dan pendidikan yang berbeda. Maka mempunyai perbedaan penafsiran pula. Makanya pengertian itu relatif pada setiap orang-orangnya. Berpijak pada subjektifitas atau berpijak pelakunya” ujarku
“Hmm..” kata pak tua mau mengatakan sesuatu.
“Tapi tunggu pak tua, saya kok merasa tidak adil jika kita hanya berpikiran pada subjeknya saja. Jika kita berpijak pada subjeknya berarti setiap yang dilakukan subjek adalah kebenaran untuk si subjek. Misalnya Anggoro dan Anggodo, mereka mengatakan bahwa keadilan adalah membebaskan mereka dari kasusnya karena mereka telah memberikan uang kemakmuran. Tapi itukan mereka lakukan untuk mengayakan segelintir orang dan uang yang seharusnya untuk rakyat mereka ambil untuk kesenangan mereka. Ini bukan keadilan untuk rakyat tapi keadilan untuk mereka. Dan saya pikir ini adalah keadilan yang salah.” Lanjutku sebelum pak tua itu mengatakan sesuatu.
“Dan kalau hanya berlaku keadilan yang subjekvitas, maka pengertian keadilan itu dapat berbeda-beda. Seperti pria tadi, seharusnya dia mengerti bahwa keadilan untuk keduanya bukan membagi sama rata. Begitu juga dengan kasus Anggoro dan Anggodo itu bukanlah keadilan malah kedzaliman. Karena aku dapat menafsirkan bahwa keadilan adalah meletakan semua pada proporsi yang sebenarnya. Anggoro dan Anggodo telah melettakkan proporsi uang rakyat pada orang-orang yang tidak seharusnya.” Lanjutku.
“Itulah filsafat Socrates anak mudi, hari ini kamu telah mengenal Socrates dengan baik. Sebenarnya itulah inti yang digugat Socrates pada filsafat Heraclitus. Jika kebenaran mengalir, maka keadilan menurut Anggoro dan Anggodo adalah suatu kebenaran.”
“Maksudnya? Saya kurang mengerti” ujarku meminta penjelasan yang lebih dalam
“Menurut Socrates ada kebenaran yang objektif yang tidak bergantung dari kamu, dia atau saya. Jika kebenaran yang subjektif, berarti kebenaran itu relative, misalnya pada kasus Anggodo, pada kebenaran relative keadilan seperti itu adalah kebenaran. Ini yang dilakukan Heraclitus dan kaum sofis. Mereka menganggap pengetahuan adalah relative kebenarannya, tidak ada pengetahuan yang bersifat umum. Socrates menentang hal ini, Dia mengatakan harus ada defenisi dari sesuatu tesebut. Dengan defenisi itu Socrates membuktikan bahwa tidak seluruhnya orang sofis itu benar; yang benar adalah pengetahuan bersifat umum dan bersifat khusus ; yang khusus itulah pengetahuannya yang relative.” Jelas pak tua
“Pak tua apakah bisa kita contohnya dari keadilan tadi. Kita harus mendefenisiskan bahwa keadilan itu adalah menempatkan sesuatu pada proporsinya. Itu adalah kebenaran yang objektifnya. Kasus Anggoro ternyata bukanlah suatu kebenaran jika kita melihat dari kebenaran objektif tersebut. Pada kasur pasar dan kasus pria 2 istri tadi itu kebenaran yang relative. “ ujarku
“itulah filsafatmu dan itulah olah pemikiranmu. Silahkan berpikir kembali” jawab pak tua
“Pak tua sudah mirip pak Marsigit, dia selalu mengatakan hal itu jika kami menyatakn sesuatu” ujarku sambil ketawa.
“hahaha.. tenyata kamu belum melupakan pak Marsigit” kata pak tua sambil tertawa.
“Bagaimana saya bisa melupakannya pak tua. Terkadang walaupun saya ingin berlari dari mata kuliah itu, tapi saya merasa ingin mendekat kembali. Belajar filsafat itu seperti pepatah melayu ‘Hendak berlari dari orang yang diam-diam engkau puja’ yang maksudnya tidak dapat pergi. Seperti pemuda yang jatuh cinta, walaupun ingin pergi meninggalkan kaarena kekasih hati sukar diraih tapi selalu saja kembali lagi karena hati merindukannya”
“hahahah…anak mudi – anak mudi, selau penuh semangat”tawa renyahnya menghiasi wajahnya.
“Bisakah kita lanjutkan kembali pak tua, karena saya belum begitu mengerti sebenarnya ” lanjutku
“Apalagi anak mudi. Sesungguhnya kamu telah berfilsafat dan mengetahui apa itu filsafat.”
“Belum pak tua, yang tadi saja aku belum jelas dan masih banyak pertanyaan yang ada dikepala ini”
“Anak mudi saya harus memberikan keadilan pada tubuh ini, tidakkah kamu lihat saya sudah tua. Saya juga membutuhkan istirahat untuk tubuhku.” Katanya
Aduh aku baru menyadari hari telah malam, wajah lelah telah menggurai pada wajah bapak tua ini . ini juga bukan keadilan jika aku trus memaksanya.
“baik bapak, dimanakah bapak tinggal?mungkin aku bisa menghantarkannnya?
Aku seorang pengelana yang tidak punya tempat tinggal. Pilihkan aku sebuah penginapan yang bisa tempat istirahatku.” Pintanya padaku
Aku hantarkan dia ke hotel VIDI 3 karena inilah hotel yang paling terdekat dan fasilitasnya juga cukup baik.
Setelah mengurus administrasi dia akan menuju kamar yang ditunjukkan pegawai hotel tersebut.
“Cukup sampai disini anak mudi, saya mau istirahat terlebih dahulu. Tidak perlu kamu bayar, karena akan dibayar oelh Plato muridku” katanya
Aku berpikir, orang tua ini mungkin ngawur karena sudah terlalu lelah.
“Bisakah besok saya kemari dan kita diskusi lagi?’tanyaku
“Silahkan aku berada dikamar…sampai jumpa besok pagi” menyebutkan kamarnya dan berlalu kearah kamar tersebut.
Aku berlalu keluar dari hotel. Tiba-tiba aku baru teringat, bapak tua itu belum memperkenalkan diri. Huff karena semangatnya aku sampai lupa hari ini menanyakan siapa nama bapak tua itu.
Aku membalikkan badanku untuk menuju kehotel. Bapak tua itu pasti telah istirahat di kamarnya. Begitu sungkan aku untuk menggangunya walaupun aku tahu dia di kamar nomor berapa. Akhirnya kuputuskan untuk menanyakan pada abagian administrasi didepan hotel.
“Maaf mbak, bapak yang dikamar nomor … atas nama siapa yah?” tanyaku kepada mbak resepsionis.
“Yang dikamar … atas nama bapak Socrates mbak” jawab mbak resepsionis dengan ramah.
“Socrates? Apa mbak gak salah?” tanyaku ulang
“Maaf,sepertinya tidak ada kekeliruan. Nama setiap pengunjung kami daftarkan dari nama pada KTPnya mbak. “
“trus pembayarannya gimana mbak?”
“Sudah dibayarkan atas nama Plato dari kredit card mbak, maaf mbak ada masalah?” Tanya ulang resepsionis. Mungkin dia sedikit kesal karena aku terlalu banyak bertanya.
“Ahhh.. tidak ada apa-apa. Mungkin saya yang salah karena terlalu lelah. Trimakasih mbak” ujarku berlalu.
Aku meyakinkan diri kalau aku telah yang salah dengar karena keletihan perjalanan hari ini. Akhirnya kuputuskan pulang, aku memanggil taksi dan menyebutkan alamat kosku. Untung saja kostku tidak jauh dari hotel VIDI 3. Dengan waktu 5 menit aku telah sampai dikosku.
Mandi dengan air hangat ide yang baik menurutku untuk mengurangi keletihan ini. Segarnya setelah mandi, letih ku berkurang, tapi ternyata tidak dengan kantukku. Tempat tidur itu seakan memanggil-manggil aku
Huff..ku baca doa semoga Tuhan memberi keberkahan dan lindungan padaku. Mungkin tidak sampai pada hitungan ketiga aku telah terlelap. Aku tidur dengan membawa filsafatku.
Jogja, 28 November 2009
Inspirasi dari buku “The Prince Must Die” yang mengemas sebuah sejarah dalam sebuah novel.
Selasa, 12 Januari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar